LARANGAN MENGANKANG SAAT NAIK MOTOR DAPAT PENOLAKAN
Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Nanat Fatah
Natsir mengatakan rencana larangan bagi perempuan duduk mengangkang saat
membonceng sepeda motor di Lhokseumawe merupakan bagian dari tradisi di
Aceh.
"Kalau rencana pelarangan itu untuk mengangkat harkat dan
derajat perempuan supaya tidak berlaku seperti laki-laki, tentu hal itu
bagus dan perlu didukung," kata Nanat di Jakarta, tadi malam.
Mantan
rektor UIN Bandung itu mengatakan di Aceh telah terjadi perpaduan
antara hukum, adat dan syariah. Karena itu, apabila ada peraturan daerah
yang mengakomodir adat dan syariah bukan sebuah permasalahan.
Menurut
Nanat, aturan seperti itu tentu tidak bisa digeneralisir untuk
diberlakukan di seluruh Indonesia. Namun, dia berharap hendaknya
masyarakat Indonesia di luar Aceh menghormati aturan dan tradisi itu.
"Tradisi harus dihormati, kecuali aturan dan tradisi itu menimbulkan
protes dan gejolak di masyarakat," ujar dia.
Nanat mengatakan
cara duduk menyamping, bukan mengangkang, bila membonceng sepeda motor
sebenarnya tidak hanya terjadi di Aceh. Dia mencontohkan di kampung
halamannya, Garut, juga dulu para perempuannya biasa duduk menyamping.
"Dulu
kan perempuan biasa pakai rok atau kain panjang sehingga harus duduk
menyamping. Kalau sekarang sudah berubah, banyak perempuan yang memakai
celana," tutur Nanat.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Lhokseumawe,
Provinsi Aceh tengah menyiapkan aturan unik. Dinas Syariat Islam membuat
draft berisi imbauan bagi kalangan perempuan untuk tidak duduk
mengangkang.
Sekretaris Umum MUI DKI Jakarta, Syamsul Maarif
mengatakan larangan duduk 'ngangkang' saat naik sepeda motor tidak perlu
diatur secara formal dalam peraturan daerah.
Syamsul mengatakan
duduk mengangkang memang menjadi masalah moral dan etika. "Mungkin duduk
mengangkang memang tidak patut, tetapi perlu diatur secara formal.
Kecuali hal itu sudah mengganggu kepentingan masyarakat," kata Syamsul
Maarif dihubungi di Jakarta, tadi malam.
Aturan formal memiliki
konsekuensi dalam pelaksanaannya, yaitu sanksi bila aturan itu tidak
dijalankan. Karenanya bila sebuah aturan yang menyangkut moral dan etika
tidak bisa dijalankan, mengapa hal itu harus diatur secara formal dalam
sebuah perda.
Menurut Syamsul, yang diatur dalam perda sebaiknya
hanya hal-hal yang mengatur kepentingan umum dan prakteknya bisa
dikontrol saja
"Di Jakarta saja banyak perda yang akhirnya tidak
bisa dijalankan seperti perda soal rokok dan larangan memberikan uang
kepada peminta-peminta di jalan. Masalah moral dan etika yang diatur
dalam aturan formal harus disesuaikan dengan kondisi setempat,"
tuturnya.
Karenanya bila di Jakarta ada pihak yang terpikir untuk
mengatur masalah duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor.
Syamsul mengatakan MUI DKI akan memberikan masukan jika hal itu tidak
perlu.
"Duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor kan juga
tidak mengganggu masyarakat sehingga tidak perlu di-perda-kan. Rokok
yang jelas-jelas mengganggu masyarakat saja pelaksanaan perdanya sulit,"
katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Lhokseumawe tengah
menyiapkan aturan unik. Dinas Syariat Islam membuat draft berisi imbauan
bagi kalangan perempuan untuk tidak duduk mengangkang. "Draft sedang
disiapkan oleh Dinas Syariah," kata Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe,
Dasni Yuzar, Kamis, (3/1) lalu.
Dasni mengatakan draf itu memang
baru disiapkan. Mulai Senin. Pengumumannya akan ditempelkan di sejumlah
tempat-tempat umum. Sejumlah spanduk dan baliho pun sudah disiapkan.