Rabu, 09 Januari 2013

             HARGA CENGKEH NAIK 
     Sejumlah pengusaha rokok kecil di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, mengeluhkan kenaikan harga cengkeh yang mencapai dua kali lipat dari harga normal.
Selain pengusaha rokok harus menambah modal hingga puluhan juta rupiah, kenaikan harga cengkeh juga membuat jadwal beroperasinya Lingkungan Industri Kecil Industri Hasil Tembakau mundur.
    Dari informasi, kenaikan harga cengkeh beragam. Cengkeh dari J awa naik dari Rp 54.000 per kilogram menjadi Rp 94.000 per kilogram, adapun cengkeh dari Manado dari Rp 60.000 per kilogram menjadi Rp 120.000 per kilogram. Kenaikan yang terjadi sejak sebulan lalu diduga terjadi karena gagal panen cengkeh di beberapa daerah akibat anomali cuaca.
   Pengusaha Rokok "Menara" Imam Syafii, Rabu (25/5/2011), mengaku, kenaikan harga cengkeh sangat me mberatkan pengusaha rokok kecil, karena mereka harus menambah modal usaha yang cukup besar untuk membeli cengkeh.  
   Dia mencontohkan, untuk membuat 30 bal (720.000 batang rokok) membutuhkan 600 kilogram cengkeh . Sebelum kenaikan harga cengkeh, biaya pembelian cengkeh yang dikeluarkan Rp 32,4 juta.
"Namun, setelah harga naik, saya mengeluarkan Rp 56,4 juta. Jadi, setiap bulan atau pas ada pesanan, saya harus menambah modal Rp 24 juta" kata Imam.
   Menurut Imam, salah satu cara menyiasati kenaikan harga cengkeh adalah menaikkan harga rokok. Namun, kalau harga cengkeh kian melambung, pengusaha tidak mungkin lagi menaikkan harga rokok.
"Kalau harga rokok naik terus, pembeli pasti tidak mau. Jika harga tidak dinaikkan, lama-lama pengusaha kecil bisa gulung tikar," kata Imam yang mempunyai 20 buruh.
   Kenaikan harga cengkeh tidak hanya berdampak pada perusahaan kecil. Kenaikan tersebut juga menyebabkan Lingkungan Industri Kecil (LIK) Industri Hasil Tembakau (IHT) di Kecamatan Mejobo, mundur beroperasi. Padahal LIK IHT diharapkan mampu mempercepat penyerapan 1.100 tenaga kerja.
   Ketua Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Wilayah Jawa Tengah, Ahmad Guntur, mengatakan, LIK IHT merupakan kawasan industri rokok kecil yang dikelola Koperasi Serba Usaha (KSU) Kudus Sejahtera Tobacco. Jika bahan baku rokok naik, KSU penye dia bahan baku rokok itu membutuhkan sokongan dana sebagai modal awal.
"Kami membutuhkan Rp 3 miliar untuk menjalankannya. Pasalnya, untuk membeli salah satu bahan baku saja, cengkeh , dibutuhkan dana Rp 1,2 miliar per bulan dengan harga cengkeh Rp 120.000 dan kebutuhan cengkeh 10 ton per bulan," kata dia.

Larangan duduk mengangkang diAceh

LARANGAN  MENGANKANG SAAT NAIK MOTOR DAPAT PENOLAKAN
       
      Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Nanat Fatah Natsir mengatakan rencana larangan bagi perempuan duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor di Lhokseumawe merupakan bagian dari tradisi di Aceh.
"Kalau rencana pelarangan itu untuk mengangkat harkat dan derajat perempuan supaya tidak berlaku seperti laki-laki, tentu hal itu bagus dan perlu didukung," kata Nanat di Jakarta, tadi malam.
      Mantan rektor UIN Bandung itu mengatakan di Aceh telah terjadi perpaduan antara hukum, adat dan syariah. Karena itu, apabila ada peraturan daerah yang mengakomodir adat dan syariah bukan sebuah permasalahan.
      Menurut Nanat, aturan seperti itu tentu tidak bisa digeneralisir untuk diberlakukan di seluruh Indonesia. Namun, dia berharap hendaknya masyarakat Indonesia di luar Aceh menghormati aturan dan tradisi itu. "Tradisi harus dihormati, kecuali aturan dan tradisi itu menimbulkan protes dan gejolak di masyarakat," ujar dia.
      Nanat mengatakan cara duduk menyamping, bukan mengangkang, bila membonceng sepeda motor sebenarnya tidak hanya terjadi di Aceh. Dia mencontohkan di kampung halamannya, Garut, juga dulu para perempuannya biasa duduk menyamping.
    "Dulu kan perempuan biasa pakai rok atau kain panjang sehingga harus duduk menyamping. Kalau sekarang sudah berubah, banyak perempuan yang memakai celana," tutur Nanat.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh tengah menyiapkan aturan unik. Dinas Syariat Islam membuat draft berisi imbauan bagi kalangan perempuan untuk tidak duduk mengangkang.
   Sekretaris Umum MUI DKI Jakarta, Syamsul Maarif mengatakan larangan duduk 'ngangkang' saat naik sepeda motor tidak perlu diatur secara formal dalam peraturan daerah.
   Syamsul mengatakan duduk mengangkang memang menjadi masalah moral dan etika. "Mungkin duduk mengangkang memang tidak patut, tetapi perlu diatur secara formal. Kecuali hal itu sudah mengganggu kepentingan masyarakat," kata Syamsul Maarif dihubungi di Jakarta, tadi malam.
   Aturan formal memiliki konsekuensi dalam pelaksanaannya, yaitu sanksi bila aturan itu tidak dijalankan. Karenanya bila sebuah aturan yang menyangkut moral dan etika tidak bisa dijalankan, mengapa hal itu harus diatur secara formal dalam sebuah perda.
   Menurut Syamsul, yang diatur dalam perda sebaiknya hanya hal-hal yang mengatur kepentingan umum dan prakteknya bisa dikontrol saja
   "Di Jakarta saja banyak perda yang akhirnya tidak bisa dijalankan seperti perda soal rokok dan larangan memberikan uang kepada peminta-peminta di jalan. Masalah moral dan etika yang diatur dalam aturan formal harus disesuaikan dengan kondisi setempat," tuturnya.
   Karenanya bila di Jakarta ada pihak yang terpikir untuk mengatur masalah duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor. Syamsul mengatakan MUI DKI akan memberikan masukan jika hal itu tidak perlu.
   "Duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor kan juga tidak mengganggu masyarakat sehingga tidak perlu di-perda-kan. Rokok yang jelas-jelas mengganggu masyarakat saja pelaksanaan perdanya sulit," katanya.
    Sebelumnya, Pemerintah Kota Lhokseumawe tengah menyiapkan aturan unik. Dinas Syariat Islam membuat draft berisi imbauan bagi kalangan perempuan untuk tidak duduk mengangkang. "Draft sedang disiapkan oleh Dinas Syariah," kata Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe, Dasni Yuzar, Kamis, (3/1) lalu.
    Dasni mengatakan draf itu memang baru disiapkan. Mulai Senin. Pengumumannya akan ditempelkan di sejumlah tempat-tempat umum. Sejumlah spanduk dan baliho pun sudah disiapkan.