Rabu, 09 Januari 2013

Larangan duduk mengangkang diAceh

LARANGAN  MENGANKANG SAAT NAIK MOTOR DAPAT PENOLAKAN
       
      Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Nanat Fatah Natsir mengatakan rencana larangan bagi perempuan duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor di Lhokseumawe merupakan bagian dari tradisi di Aceh.
"Kalau rencana pelarangan itu untuk mengangkat harkat dan derajat perempuan supaya tidak berlaku seperti laki-laki, tentu hal itu bagus dan perlu didukung," kata Nanat di Jakarta, tadi malam.
      Mantan rektor UIN Bandung itu mengatakan di Aceh telah terjadi perpaduan antara hukum, adat dan syariah. Karena itu, apabila ada peraturan daerah yang mengakomodir adat dan syariah bukan sebuah permasalahan.
      Menurut Nanat, aturan seperti itu tentu tidak bisa digeneralisir untuk diberlakukan di seluruh Indonesia. Namun, dia berharap hendaknya masyarakat Indonesia di luar Aceh menghormati aturan dan tradisi itu. "Tradisi harus dihormati, kecuali aturan dan tradisi itu menimbulkan protes dan gejolak di masyarakat," ujar dia.
      Nanat mengatakan cara duduk menyamping, bukan mengangkang, bila membonceng sepeda motor sebenarnya tidak hanya terjadi di Aceh. Dia mencontohkan di kampung halamannya, Garut, juga dulu para perempuannya biasa duduk menyamping.
    "Dulu kan perempuan biasa pakai rok atau kain panjang sehingga harus duduk menyamping. Kalau sekarang sudah berubah, banyak perempuan yang memakai celana," tutur Nanat.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh tengah menyiapkan aturan unik. Dinas Syariat Islam membuat draft berisi imbauan bagi kalangan perempuan untuk tidak duduk mengangkang.
   Sekretaris Umum MUI DKI Jakarta, Syamsul Maarif mengatakan larangan duduk 'ngangkang' saat naik sepeda motor tidak perlu diatur secara formal dalam peraturan daerah.
   Syamsul mengatakan duduk mengangkang memang menjadi masalah moral dan etika. "Mungkin duduk mengangkang memang tidak patut, tetapi perlu diatur secara formal. Kecuali hal itu sudah mengganggu kepentingan masyarakat," kata Syamsul Maarif dihubungi di Jakarta, tadi malam.
   Aturan formal memiliki konsekuensi dalam pelaksanaannya, yaitu sanksi bila aturan itu tidak dijalankan. Karenanya bila sebuah aturan yang menyangkut moral dan etika tidak bisa dijalankan, mengapa hal itu harus diatur secara formal dalam sebuah perda.
   Menurut Syamsul, yang diatur dalam perda sebaiknya hanya hal-hal yang mengatur kepentingan umum dan prakteknya bisa dikontrol saja
   "Di Jakarta saja banyak perda yang akhirnya tidak bisa dijalankan seperti perda soal rokok dan larangan memberikan uang kepada peminta-peminta di jalan. Masalah moral dan etika yang diatur dalam aturan formal harus disesuaikan dengan kondisi setempat," tuturnya.
   Karenanya bila di Jakarta ada pihak yang terpikir untuk mengatur masalah duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor. Syamsul mengatakan MUI DKI akan memberikan masukan jika hal itu tidak perlu.
   "Duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor kan juga tidak mengganggu masyarakat sehingga tidak perlu di-perda-kan. Rokok yang jelas-jelas mengganggu masyarakat saja pelaksanaan perdanya sulit," katanya.
    Sebelumnya, Pemerintah Kota Lhokseumawe tengah menyiapkan aturan unik. Dinas Syariat Islam membuat draft berisi imbauan bagi kalangan perempuan untuk tidak duduk mengangkang. "Draft sedang disiapkan oleh Dinas Syariah," kata Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe, Dasni Yuzar, Kamis, (3/1) lalu.
    Dasni mengatakan draf itu memang baru disiapkan. Mulai Senin. Pengumumannya akan ditempelkan di sejumlah tempat-tempat umum. Sejumlah spanduk dan baliho pun sudah disiapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar